Sabtu, 20 Februari 2010

Melangkah . . . memoar perasaan yang hilang


//30 12 07


Dia melihatku, aku curiga . . .

Saat kita bertemu di dekat jurang
Kau titipkan sekuntum bunga kamboja

“siapa kamu”

bisikmu melalui pipa rasa

jawaban belum keluar saat hujan tiba-tiba datang
mengguyurku
memisahkan kita

di ujung hatiku, aku terpekur dengan satu nama

“siapa kamu”

yang ikut-ikutan menempel dalam pintu rasa

aku berlari
Hujan mengejarku
Aku bersumpah akan memberi jawaban
Nanti
Suatu saat nanti

Saat kita ketemu
Kata-kataku tertelan
Hilang
Padahal seuntai kalimat telah kususun sejak aku melamun semalam

Tapi semua tak pernah sampai ke telingamu
Yang terucap hanya satu

“Aku, malu”

*
Kau kirim sebaris singkat pesan jiwa :

tlg kamu jawab: siapa kamu?

Aku ketik serangkai kalimat panjang

Jangan tanya aku, sungguh
Aku sendiri tak tahu siapa aku
Setiap bercermin
yang ada bukan wajahku
Setiap orang memanggilku
Jiwa tak pernah menyahut
Setiap aku berseru
bukan suaraku yang berseru
Setiap aku bersair
bukan puisi yang lahir
Aku hanya benalu

Pulsa habis …
Maaf tak terkirim

*
Kita bertemu di sebuah halte penantian rasa
kala dirimu datang dengan senyum kelu

“Kamu siapa ?”

aku tersenyum
Aku bukan bidadari
Aku tertawa
aku bukan jawara
Aku menggeleng
Aku juga tak tahu
Sungguh
Sungguh-sungguh

Kamu marah sambil terus berlari
Aku berlari mengejarmu
Tapi kita hanya diam saat mata saling berpandang
Mencoba menerawang dalamnya palung yang tercipta

“Tapi siapa kamu?” katamu

Aku ambil sebuah kertas
Aku tulis dengan huruf besar

Aku ini sapu
yang akan membersihkan jiwamu
Seperti malam
yang akan menghapus siangmu
seperti bulan
yang temani gelapmu

*
semakin hari 
makin banyak alur yang tak tentu
aku mulai bermain-main
menggoda
menggelitik
semua perasaanmu
Sejenak aku pun harus berhenti berhenti 
karena katamu:

“Ternyata kamu bukan orang yang aku cari”

Benarkah begitu ?
Padahal …

Aku sudah membuka harimu
sebelum pagi menjelang
Aku sudah memetik gelisahmu,
sebelum engkau hela nafas risaumu

*
Sebulan berlalu
Datang lagi kata itu

“siapa kamu?”

tanyamu lagi dan lagi
engkau bersumpah

“Aku hanya ingin mencintaimu”

*
Kau terus mencari berkas-berkas hidupku
Ada apa dengan ku
Sudah bertahun kau mencari
Menyisakan berjuta tanda Tanya
Tentang aku
Segenggam amarah kau simpan di saku kiri
Satu kantong lagi kau isi dengan rindu

Sebait puisi kukirim untukmu:

hatiku adalah langit
Yang akan memberimu bintang
Yang akan meneduhkan hatimu
dengan hujan kasih sayang
dan aku juga adalah matahari
yang menyinari siangmu
dengan cahaya kerinduan
Kau boleh ke sini
Memetik bulan dan matahari



*
Kini aku tahu
siapa aku:

Hanya seorang pecundang
Tak mengerti perasaan
Tak melisankan perasaan
Membungkam perasaan


*
“siapa kamu?”

tak lagi terdengar
bertahun-tahun sudah
dari sebuah bibirmu yang mungil
yang menggambarkan
ketenangan bagai air
juga amarah
layaknya api
tapi
Tak penting lagi bagiku
siapa dirimu
dengan pundakmu yang kokoh
yang pernah kucuri waktu itu
dengan tanganmu yang hangat
yang pernah ku pinjam saat itu
Yang pasti
kini aku tahu

aku membutuhkanmu

*
Pada tahun ini
Dengan daun sore berguguran
Engkau datang dengan hati yang sudah membeku
Padahal sore itu terasa hangat bagiku
Juga bagi dunia

“aku cinta kamu” katamu, dengan wajah layu

Aku benar-benar haru
Bagaimana mungkin kau cinta aku
Sedang kamu tak kenal siapa aku
Itupun setelah bertahun tak bertemu


“Tidak !” katamu

“kini aku tahu siapa kamu”

Senyummu benar-benar sinis
Aku tak tahu maksudmu
Menantangku
Mencari arti tentang rasa

*
pada akhirnya
Keputuskan untuk ajarimu
Tentang arti hidup dalam kamusku
Kamus yang tak punya rasa
Karena kususun dari lembar-lembar kepedihan
Tanpa nada
Apalagi cinta

Aku ajak engaku mengerti aku
Aku ajak engkau memamanjat sebuah bukit
Engkau harus siap untuk lelah
Karena aku adalah bukit itu

Aku ajak engkau berenang ke samudera
Bukan sekedar gelombang dan air asin
yang engkau rasakan
Karena aku adalah samudera itu

Aku takut kita hanya akan menjadi embun di atas bukit itu
Aku takut kita hanya akan menjadi riak di gejolak liar samudera itu

Kau dan aku menangis

Sebelum puisi ini aku tambatkan di sisi pelabuhan cintaku
aku lemparkan sebuah ego dan amarahku

aku sudah tua
Bau tanah menempel dalam dahiku
Kini aku bertanya

“Apa kamu sudah mengerti aku?”



* sebuah memoar atas perasaan yang tak mungkin datang untuk saat ini
saat dunia memang tak pernah memihak
untukku untuk perasaanku

kaz - 8 februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar